Mengenal Burung Enggang Sebagai Salah Satu Filosofi Kehidupan Suku Dayak
Kontribusi dari Misyuwe, 03 Februari 2018 07:42, Dibaca 24,229 kali.
MMCKalteng- Burung Enggang yang disebut juga burung rangkong tersebar di Asia dan Afrika yang terdiri dari 57 spesies. Diantaranya ada 14 spesies yang terdapat di Indonesia dan melekat menjadi filosofi di kehidupan suku Dayak khususnya.
Makna mendalam filosofi Burung Enggang dalam kehidupan suku Dayak Kalimantan begitu melekat, bahkan dapat kita jumpai dan lihat pada acara kesenian dan budaya didaerah Kalimantan Tengah dimana burung enggang ini kerap digunakan sebagai atribut dibeberapa kesempatan. Burung ini diakui memiliki makna mendalam bagi suku Dayak yang masih kental dengan budaya serta kearifan lokal masyarakat setempat.
(Baca Juga : Putra-Putri Duta Wisata Kalteng Siap Sukseskan Pernikahan Gubernur Kalteng)
Burung Enggang sendiri bermakna sebagai satu tanda kedekatan masyarakat Indonesia dengan alam sekitarnya. Seluruh bagian tubuh Burung Enggang digunakan sebagai simbol kebesaran dan kemuliaan suku tersebut, melambangkan perdamaian dan persatuan, sayapnya yang tebal melambangkan pemimpin yang selalu melindungi rakyatnya. Sedangkan ekor panjangnya dianggap sebagai tanda kemakmuran rakyat suku Dayak.
Selain itu, burung enggang juga dijadikan sebagai contoh kehidupan keluarga di masyarakat, agar senantiasa dapat selalu mencintai dan mengasihi pasangan hidupnya dan mengasuh anak mereka hingga menjadi seorang dayak yang mandiri dan dewasa.
Suku Dayak Kalimantan dalam kehidupannya sangat erat dengan fauna gagah satu ini, cerita dan mitos terkait kisah burung enggang akan berbeda di setiap daerah. Seperti salah satu kisah mengatakan bahwa burung enggang merupakan penjelmaan dari Panglima Burung. Panglima Burung adalah sosok yang tinggal di gunung pedalaman kalimantan dan berwujud gaib dan hanya akan hadir saat perang. Pada umumnya burung ini dianggap sakral dan tidak diperbolehkan untuk diburu apalagi dimakan.
Enggang Gading merupakan salah satu jenis burung rangkong yang memiliki ukuran terbesar, baik kepala, paruh dan tanduknya yang menutupi dahinya. Enggang gading ini terdapat di Indonesia yang dikenal dan memiliki filosopi yang tinggi bagi suku Dayak.
Jumlahnya yang semakin sedikitpun menjadi alasan pemerintah untuk menjaga jenis fauna ini untuk dilindungi oleh undang-undang. Saat masih mudah burung ini memiliki paruh dan mahkota berwarna putih, warna putih pada paruh dan mahkotanya akan berubah menjadi oranye dan merah seiring waktu. Hal ini terjadi karena enggang menggesek paruh ke kelenjar sehingga menghasilkan perubahan warna. Burung enggang menyukai daun Ara yang menjadi makanan favoritnya, namun tak jarang pula serangga, tikus, kadal dan burung kecil menjadi santapannya. (Yuwe/ Berbagai sumber/ Foto: Net)
Enggang gading (Rhinoplax vigil) merupakan salah satu spesies yang mudah dikenali dari bentuk tubuhnya yang besar dan suara ‘calling’-nya yang bisa menggema ke penjuru hutan. Dengan postur tubuh yang besar, bulu ekor yang panjang menjuntai, bulu mata yang lentik, bentang sayap yang lebar, tampilan kepala yang unik membuat enggang gading terkesan sebagai burung purba. Enggang gading sudah lama mendiami hutan-hutan primer di Kalimantan Barat.
Enggang gading maskot Kalimantan Barat. (Rangkongid/Aryf Rahman)
Menurut kehidupan Suku Dayak, enggang gading memiliki nilai-nilai yang bisa menjadi teladan dalam berkehidupan. Beberapa filosofi yang dimiliki kemudian dijabarkan oleh salah seorang penggagas maskot Kalimantan Barat, Budi Suriansyah, diantaranya:
Alasan inilah yang membuat spesies ini dipilih menjadi maskot Kalimantan Barat. Penetapannya didasarkan pada:
Meski telah ditetapkan sebagai maskot Kalimantan Barat sejak tahun 1990, masih banyak masyarakat yang tidak familiar dengan enggang gading. Berdasarkan hasil survei persepsi yang kami lakukan dari tahun 2018-2020 dari 513 responden sebanyak 86% responden tidak mengetahui enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat dan bahkan sering tertukar dengan enggang cula. Mengapa bisa terjadi?
Beberapa dugaan muncul salah satunya karena enggang cula dianggap lebih menawan. Berbeda dengan enggang gading, enggang cula tampak cantik karena bentuk balungnya yang lentik dan lebih menarik. Enggang cula juga lebih sering digunakan sebagai pelengkap dekoratif dalam pakaian adat dan ritual adat ketimbang enggang gading. Bahkan Suku Dayak Iban memiliki Ritual Kenyalang atau Ritual enggang cula yang merupakan ritual terbesar bagi Suku Dayak Iban.
Sementara Suku Dayak Tamambalo menjadikan enggang cula sebagai penanda akan terjadi hal baik ataupun hal buruk berdasarkan arah terbangnya.
Enggang cula sebagai ornamen bangunan di Kalimantan Barat. (Rangkongid/Hardiyanti)
Ditambah enggang cula mendiami hutan sekunder yang jaraknya lebih dekat dengan tempat tinggal masyarakat sehingga mudah dijumpai, dibandingkan enggang gading yang habitatnya berada di hutan primer. Artinya, lokasinya sulit dijangkau oleh manusia. Sehingga masyarakat lebih familiar dengan enggang cula daripada enggang gading. Terbukti ketika ada perayaan-perayaan pembangunan daerah Kalimantan Barat, enggang cula lebih sering ditampilkan daripada enggang gading.
Di tengah kondisi ini, upaya untuk memperkenalkan enggang gading kepada masyarakat telah dilakukan lebih dari dua dekade yang lalu. Bapak Abdul Halim Ramli, ilustrator maskot Kalimantan Barat, telah bergerak untuk memperkenalkan enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat diantaranya dengan membuat pameran seni rupa di Taman Budaya Pontianak pada awal Februari 1993. Pameran ini juga diresmikan oleh Bapak Aspar Aswin, Gubernur Kalimantan Barat kala itu. Beliau juga menciptakan syair yang dijadikan sebagai lagu balada yang pernah dilagukan pada kegiatan di Taman Budaya Pontianak.
Upaya memperkenalkan maskot Kalbar tidak berhenti disitu. Jepit dasi berbentuk enggang gading yang terbuat dari emas bermata intan diserahkan oleh Pemda TK 1 Kalbar kepada Gubernur Kalimantan Barat, Bapak Soedjiman ketika beliau purna bakti.
Foto, lukisan maupun Maskot Kalbar juga dimuat pada cover depan buku Atlas Kalimantan Barat yang telah diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Kalbar pada bulan Juni 1993. Buku ini lalu disebarkan hampir ke seluruh SDN di Kalbar. Jika digali lebih jauh, bahkan ada lagu “Enggang Gading dan Tengkawang Tungkul” yang dikenalkan kala itu dengan syair ciptaan Bapak Paul Putra. Lagu ini telah disebarkan di Pontianak dibawah label HB Production.
Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran pengetahuan. Sebab sampai saat ini masyarakat masih banyak yang belum mengetahui maskot daerahnya sendiri. Artinya kita masih memiliki tugas untuk berbagi informasi dan terus menyadarkan masyarakat bahwa maskot Kalimantan Barat bukanlah enggang cula, tapi enggang gading. Dengan lebih banyak yang mengetahui, diharapkan kebanggaan dan rasa memiliki masyarakat akan spesies yang saat ini populasinya kritis akan semakin meningkat.
Penulis: Hardiyanti Editor: Mutiara Imanda Yusuf
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.